BAYAR FIDYAH ATAU MENGGANTI PUASA ?
Bolehnya wanita hamil dan
menyusui untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan hanya ditetapkan berdasarkan
ijma' para ulama. Kondisi wanita hamil yang disebut Alquran seperti wahnan 'ala
wahnin (lemah yang bertambah-tambah) membuat para ulama membolehkan mereka
untuk membatalkan puasa. Apalagi, kondisinya bisa membahayakan bayi atau ibu
hamil.
Konsekuensinya, karena tidak
ditemui adanya nas dari Alquran maupun hadis-hadis Nabi SAW yang secara sharih
(jelas) membolehkan wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa, hal ini
berdampak pula pada cara mengqadha puasa yang mereka tinggalkan. Bagaimana cara
menggantinya?
Dalam hal mengqadha puasa
Ramadhan ini, ulama berbeda pendapat. Para ulama ada yang mewajibkan qadha saja
tanpa perlu membayar fidyah. Pendapat kedua, ulama berpendapat hanya
membayarkan fidyah tanpa perlu mengqadha puasa. Ketiga, ada pula ulama yang
mewajibkan qadha dan ditambah fidyah sekaligus.
Pendapat pertama, ulama yang
mengatakan hanya perlu mengqadha tanpa fidyah mengqiyaskan hukumnya kepada
orang sakit. Sebab, kondisi wanita hamil dan menyusui yang lemah mirip sekali
dengan orang yang sakit. Sedangkan, qadha bagi orang yang sakit adalah
mengganti puasanya di hari lain di luar Ramadhan.
Ulama yang memakai pendapat ini
adalah Mazhab Hanafi dari Abu Hanifah, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Para ulama ini
berdalil dengan firman Allah SWT, "(Yaitu) dalam beberapa hari yang
tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan
itu pada hari-hari yang lain..." (QS al-Baqarah [2]: 184).
Pendapat kedua mengatakan qadha
bagi wanita hamil dan menyusui hanya fidyah. Pendapat ini dipakai di kalangan
ulama, seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Mereka mengqiyaskan kondisi wanita
hamil dan menyusui dengan orang-orang yang lanjut usia atau kalangan mereka
yang tidak sanggup melaksanakan puasa. Ulama ini berdalil dengan firman Allah
SWT, "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin... (QS
al-Baqarah [2]: 184).
Dalam Bidayatul Mujtahid (jilid
1/ hal 63) disebutkan, kondisi ibu hamil atau orang yang menyusui lebih dekat
qiyasnya kepada orang lanjut usia. Jika tidak berpuasa di bulan Ramadhan sebab
mengkhawatirkan kondisi dirinya ataupun bayinya, mereka harus membayar fidyah
tanpa perlu mengqadha.
Sedangkan pendapat ketiga, wanita
hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa Ramadhan wajib mengqadha sekaligus
membayar fidyah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hanbal. Menurut mereka, kondisi wanita hamil dan menyusui serupa dengan orang
sakit dan orang yang terbebani dalam melakukan puasa. Jadi, Imam Syafi'i
menggabungkan dua pendapat di atas. Apabila tidak berpuasa di bulan Ramadhan,
mereka harus membayar qadha dan fidyah sekaligus. Pendapat ini menggabungkan
dua dalil dari ayat yang disebutkan di atas.
Dalam Fiqhus Sunnah (jilid I/hal
508) disebutkan, jika alasan meninggalkan puasa bagi ibu hamil karena khawatir
dengan kondisi bayinya, ia wajib qadha dan membayar fidyah sekaligus. Namun,
jika alasannya tak berpuasa hanya karena mengkhawatirkan dirinya atau dirinya
dan bayinya, ia hanya perlu mengqadha puasa tanpa membayar fidyah.
Sedangkan Mazhab Maliki punya
pendapat lain. Menurutnya, bagi wanita hamil cukup mengqadha saja. Sedangkan
bagi wanita yang menyusui harus mengqadha dan membayar fidyah. Mereka
berpendapat, kondisi wanita hamil dan menyusui berbeda. Jadi, mereka juga
dibedakan dari segi hukumnya. Menurut Mazhab Maliki, wanita hamil lebih dekat
diqiyaskan hukumnya kepada orang sakit. Sedangkan wanita menyusui qiyasnya
mencakup dua kondisi, yaitu orang sakit sekaligus orang yang terbebani
melakukan puasa. Apabila tidak berpuasa di bulan Ramadhan, ia wajib membayar
qadha dan fidyah.
Lantas, manakah pendapat yang paling kuat? Ulama Indonesia banyak yang mengambil pendapat ketiga sebagai langkah ihtiyath (kehati-hatian). Bagi mereka yang punya kelapangan waktu dan harta tentu lebih baik bagi mereka untuk menjalankan pendapat yang ketiga. Di samping membayarkan fidyah untuk membantu fakir miskin, mereka bisa pula berpuasa dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT. Adapun bagi mereka yang tak punya kelapangan sedemikian, kembali kepada mazhab masing-masing. Misalkan, pengikut Mazhab Syafi'iyyah mengikuti Imam Syafi’i, pengikut Mazhab Hanbali mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal, dan seterusnya. Wallahu'alam
Sumber : (https://republika.co.id/berita/nqwmc938/wanita-hamil-dan-menyusui-mengqadha-puasa-atau-bayar-fidyah)