DENGAN ZAKAT HARTA BERNALAI BERKAH
Alokasikan #Zakat atau #Sedekah pada pengeluaran pertama, agar harta bernilai berkah dan kemudahan senantiasa menyertai kita. InsyaAllah.
Bayar Zakat, Klik zakatkita.org
REKENING INFAQ :
BAYAR FIDYAH ATAU MENGGANTI PUASA ?
Bolehnya wanita hamil dan
menyusui untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan hanya ditetapkan berdasarkan
ijma' para ulama. Kondisi wanita hamil yang disebut Alquran seperti wahnan 'ala
wahnin (lemah yang bertambah-tambah) membuat para ulama membolehkan mereka
untuk membatalkan puasa. Apalagi, kondisinya bisa membahayakan bayi atau ibu
hamil.
Konsekuensinya, karena tidak
ditemui adanya nas dari Alquran maupun hadis-hadis Nabi SAW yang secara sharih
(jelas) membolehkan wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa, hal ini
berdampak pula pada cara mengqadha puasa yang mereka tinggalkan. Bagaimana cara
menggantinya?
Dalam hal mengqadha puasa
Ramadhan ini, ulama berbeda pendapat. Para ulama ada yang mewajibkan qadha saja
tanpa perlu membayar fidyah. Pendapat kedua, ulama berpendapat hanya
membayarkan fidyah tanpa perlu mengqadha puasa. Ketiga, ada pula ulama yang
mewajibkan qadha dan ditambah fidyah sekaligus.
Pendapat pertama, ulama yang
mengatakan hanya perlu mengqadha tanpa fidyah mengqiyaskan hukumnya kepada
orang sakit. Sebab, kondisi wanita hamil dan menyusui yang lemah mirip sekali
dengan orang yang sakit. Sedangkan, qadha bagi orang yang sakit adalah
mengganti puasanya di hari lain di luar Ramadhan.
Ulama yang memakai pendapat ini
adalah Mazhab Hanafi dari Abu Hanifah, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Para ulama ini
berdalil dengan firman Allah SWT, "(Yaitu) dalam beberapa hari yang
tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan
itu pada hari-hari yang lain..." (QS al-Baqarah [2]: 184).
Pendapat kedua mengatakan qadha
bagi wanita hamil dan menyusui hanya fidyah. Pendapat ini dipakai di kalangan
ulama, seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Mereka mengqiyaskan kondisi wanita
hamil dan menyusui dengan orang-orang yang lanjut usia atau kalangan mereka
yang tidak sanggup melaksanakan puasa. Ulama ini berdalil dengan firman Allah
SWT, "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin... (QS
al-Baqarah [2]: 184).
Dalam Bidayatul Mujtahid (jilid
1/ hal 63) disebutkan, kondisi ibu hamil atau orang yang menyusui lebih dekat
qiyasnya kepada orang lanjut usia. Jika tidak berpuasa di bulan Ramadhan sebab
mengkhawatirkan kondisi dirinya ataupun bayinya, mereka harus membayar fidyah
tanpa perlu mengqadha.
Sedangkan pendapat ketiga, wanita
hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa Ramadhan wajib mengqadha sekaligus
membayar fidyah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hanbal. Menurut mereka, kondisi wanita hamil dan menyusui serupa dengan orang
sakit dan orang yang terbebani dalam melakukan puasa. Jadi, Imam Syafi'i
menggabungkan dua pendapat di atas. Apabila tidak berpuasa di bulan Ramadhan,
mereka harus membayar qadha dan fidyah sekaligus. Pendapat ini menggabungkan
dua dalil dari ayat yang disebutkan di atas.
Dalam Fiqhus Sunnah (jilid I/hal
508) disebutkan, jika alasan meninggalkan puasa bagi ibu hamil karena khawatir
dengan kondisi bayinya, ia wajib qadha dan membayar fidyah sekaligus. Namun,
jika alasannya tak berpuasa hanya karena mengkhawatirkan dirinya atau dirinya
dan bayinya, ia hanya perlu mengqadha puasa tanpa membayar fidyah.
Sedangkan Mazhab Maliki punya
pendapat lain. Menurutnya, bagi wanita hamil cukup mengqadha saja. Sedangkan
bagi wanita yang menyusui harus mengqadha dan membayar fidyah. Mereka
berpendapat, kondisi wanita hamil dan menyusui berbeda. Jadi, mereka juga
dibedakan dari segi hukumnya. Menurut Mazhab Maliki, wanita hamil lebih dekat
diqiyaskan hukumnya kepada orang sakit. Sedangkan wanita menyusui qiyasnya
mencakup dua kondisi, yaitu orang sakit sekaligus orang yang terbebani
melakukan puasa. Apabila tidak berpuasa di bulan Ramadhan, ia wajib membayar
qadha dan fidyah.
Lantas, manakah pendapat yang paling kuat? Ulama Indonesia banyak yang mengambil pendapat ketiga sebagai langkah ihtiyath (kehati-hatian). Bagi mereka yang punya kelapangan waktu dan harta tentu lebih baik bagi mereka untuk menjalankan pendapat yang ketiga. Di samping membayarkan fidyah untuk membantu fakir miskin, mereka bisa pula berpuasa dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT. Adapun bagi mereka yang tak punya kelapangan sedemikian, kembali kepada mazhab masing-masing. Misalkan, pengikut Mazhab Syafi'iyyah mengikuti Imam Syafi’i, pengikut Mazhab Hanbali mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal, dan seterusnya. Wallahu'alam
Sumber : (https://republika.co.id/berita/nqwmc938/wanita-hamil-dan-menyusui-mengqadha-puasa-atau-bayar-fidyah)
Tadabbur ayat yakni kegiatan membaca dan memahami terjemahan suatu ayat.
Menyelami lautan ayat-ayat Sang Pencipta bisa membuat kita banyak berucap
hamdalah.
Sebab dalam Al-Qur'an banyak kisah-kisah, hukum syariat, doa dan lain
sebagainya yang dapat kita ambil hikmah.
Tadabbur ayat sangat membantu bahkan mempermudah proses menghafal. Karena makna
dari ayat tersebut dapat diresapi terlebih dahulu. MasyaAllah.. semoga kita
dimudahkan untuk menjadi seorang haafidz sekaligus haamilul Qur'an
Info lengkap tentang Pesantren kami bisa dilihat di :
https://linktr.ee/khairunnasmalang
CP : wa.me/6282335492219
#informasibeasiswa2020 #infobeasiswa2020 #smpfavoritmalang #smpislammalang #smpterbaikmalang #pesantrenyatim #pesantrentahfidzmalang #pesantren #smpunggulanmalang #beasiswatahfidz #beasiswasmp #beasiswa2020
Bantu Rumah Bocor Mbah Waginem
Waginem (75 tahun) hidup sebatang kara, ya diusianya saat ini Mbah Waginem tidak punya keluarga. Dulu.. kesehariannya adalah serabutan/ buruh tandur (menanam padi) dan matun (membersihkan rumput di sela-sela tanaman padi) milik orang lain dan apapun yang bisa dikerjakan oleh Mbah Waginem.
Saat ini penglihatan Mbah Waginem sudah terganggu sehingga saat ini hanya bisa mengharapkan bantuan dari tetangga dan bantuan dari Desa, Mbah Waginem kalau pas hujan turun tidak berani tinggal di rumah karena air hujan masuk ke dalam karena tembok Mbah Waginem hanya separuh, itupun dari gedek atau anyaman bambu yang mulai lapuk.
Rumah itupun juga merupakan bantuan, karena keterbatasan anggaran sehingga hanya sampai tiang sama atap. Kami berharap ada pertolongan dari Allah melaui tangan-tangan dermawan untuk mewujudkan papan kayu atau sejenisnya untuk mewujudkan papan kayu untuk rumah Mbah Waginem.
Rincian penggunaan jika dana donasi terkumpul:
Material Rp 17.500.000
Tenaga/ tukang Rp 12.500.000
“Barangsiapa yang mempermudah orang dalam kesulitan, maka Allah akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat, dan barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutupi dirinya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa membantu seorang hamba selama hamba tersebut senantiasa membantu saudaranya.” (HR Muslim).
#BantuRumahBocorMbahWaginem
==========================================
Salurkan sedekahmu dengan cara:
1. Pilih Nominal Donasi
2. Lengkapi Data Diri
3. Pilih metode pembayaran
4. Transaksi sesuai dengan metode pembayaran
Sahabat juga bisa membagikan halaman galang dana ini agar semakin banyak yang turut ikut berbuat kebaikan.
Semoga sedekah yang kita keluarkan bisa memberikan kebaikan dan pahala yang berlimpah untuk kita serta memberikan kebahagiaan bagi penerima manfaat. Aamiin.
Sunnah dilaksanakan Aqiqah adalah pada hari ketujuh. Tapi tidak jarang mimin masih menerima pertanyaan, "Hari ketujuhnya kapan ya, Kak?"
Sunnah dilaksanakan Aqiqah adalah pada hari ketujuh. Tapi tidak jarang mimin masih menerima pertanyaan, "Hari ketujuhnya kapan ya, Kak?"
Rupanya masih banyak Bunda yang belum tahu ya...
Berikut ini mimin share caranya
Mayoritas ulama pakar fiqih berpendapat bahwa waktu siang
pada hari kelahiran adalah awal hitungan hari ketujuh, sedangkan kalau malam
ikut hari berikutnya.
Contoh:
Bayi lahir hari Ahad (29/11) pukul 08.00 pagi, berarti hari
Ahad sudah masuk hari kesatu. Sehingga hari ketujuh jatuh pada hari Sabtu.
Bayi lahir hari Ahad (29/11) pukul 19.00 malam, maka hari
kesatunya adalah hari Senin (30/11). Sehingga hari ketujuh jatuh pada hari
Ahad. Dan seterusnya...
Semoga dapat memahami dari contoh ya, Bund
.
#AqiqahBogor #PaketAqiqahBogor #AqiqahNurulHayat #FoodHalal #Halal #aqiqah #aqiqahhalal #halal #aqiqoh #qurban #qurban2020 #qurbanmurah #kambing #akikah #infoaqiqah #jasaaqiqah #jasaakikah #layananaqiqah #layananakikah #aqiqahcibinong #aqiqahsukabumi #aqiqahdepok #aqiqahjabodetabek #aqiqahbogorbarat #aqiqahbogorutara #aqiqahbogortimur #aqiqahjakata #aqiqahpurwakarta
Kurban karena nadzar, termasuk kurban yang hukumnya
wajib. Ulama berbeda pendapat tentang hukum makan daging kurban wajib,
bagi shohibul kurban (pelaku qurban).
Pertama, pemilik kurban nadzar tidak boleh ikut memakannya,
dan wajib dia serahkan seluruhnya kepada orang lain. Ini adalah pendapat
Hanafiyah, Syafiiyah, dan mayoritas Madzhab Hanbali.
An-Nawawi mengatakan:
فرع في مذاهب العلماء في الاكل من الضحية والهدية
الواجبين. قد ذكرنا أن مذهبنا أنه لا يجوز الاكل منهما سواء كان جبرانا أو منذورا
وكذا قال الاوزاعي وداود الظاهري لا يجوز الاكل من الواجب
(pasal) tentang pendapat para ulama mengenai hukum makan hewan
qurban atau hadyu yang wajib. Telah kami tegaskan bahwa madzhab kami
berpendapat, tidak boleh makan kurban dan hadyu yang wajib, baik
karena memaksa diri sendiri atau karena nadzar. Demikian yang menjadi pendapat
Al-Auza’i, Daud Ad-Dzahiri, tidak boleh akan qurban wajib. (al-Majmu’, 8:418).
Dalam Fatawa ar-Ramli –ulama Madzhab Syafiiyah– beliau ditanya
tentang orang yang menentukan, bahwa kambing X miliknya akan dikurbankan.
Bolehkan pemiliknya makan? Beliau menjawab:
بأن الشاة المذكورة تصير بلفظه المذكور أضحية, وقد زال
ملكه عنها فيحرم عليه أكله من الأضحية الواجبة
Kambing yang disebutkan di pertanyaan di atas, statusnya menjadi
kambing kurban disebabkan ucapan pemiliknya (menegaskan bahwa itu untuk
qurban). Sehingga kepemilikan dia telah hilang. Karena itu, haram baginya untuk
makan daging qurban wajib. (Fatawa ar-Ramli, 4:69)
Sementara Ibnu Qudamah mengatakan:
وَإِنْ نَذَرَ أُضْحِيَّةً فِي ذِمَّتِهِ ثُمَّ
ذَبَحَهَا، فَلَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا.وَقَالَ الْقَاضِي: مِنْ أَصْحَابِنَا
مَنْ مَنَعَ الْأَكْلَ مِنْهَا.وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ أَحْمَدَ
Jika ada orang yang nadzar untuk qurban, kemudian dia
menyembelih qurban, maka dia boleh memakannya. Sementara al-Qodhi Abu Ya’la
menaagatakan: Diantara ulama madzhab kami (Hanbali) ada yang melarang
memakannya, dan itu yang nampak dari perkataan Imam Ahmad. (al-Mughni, :/444).
Kedua, shohibul kurban boleh memakannya. Ini adalah pendapat
Madzhab Maliki dan sebagian ulama hambali dalam Ensiklopedi Fikih dinyatakan:
أمّا إذا وجبت الأضحيّة ففي حكم الأكل منها اختلاف
الفقهاء وَوُجُوبُهَا يَكُونُ بِالنَّذْرِ أَوْ بِالتَّعْيِينِ …. فعند
المالكيّة ، والأصحّ عند الحنابلة، أنّ له أن يأكل منها ويطعم غيره
“Untuk kurban wajib, ada perselisihan ulama tentang hukum
memakannya. Dimana qurban menjadi wajib disebabkan nadzar atau dengan
penunjukan (misal: kambing X untuk kurban tahun ini)… menurut madzhab Maliki
dan pendapat yang kuat dalam amdzhab hambali, shohibul qurban boleh memakannya,
dan mensedekahkan kepada orang lain. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah,
6/115)
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, terdapat kesimpulan :
ومن هنا يعلم الأخ السائل أن حكم الأكل من الأضحية التي
وجبت بالنذر أو التعيين محل خلاف بين الفقهاء، والأحوط ترك الأكل منها
Dari sini, anda bisa menyimpulkan bahwa hukum makan daging
qurban wajib karena nadzar maupun penunjukkan, termasuk masalah yang
diperselisihkan ulama. Yang
lebih hati-hati, tidak ikut memakannya. (Fatawa Syabakah
Islamiyah, no. 103330). Allahu a’lam
[Sumber:konsultasi syariah.com]
x
Dongeng sebelum tidur merupakan aktivitas yang bukan hanya menyenangkan tetapi juga bermanfaat untuk tumbuh kembang anak. Dengan melib...