Cara Menghitung Zakat Perdagangan
Cara menghitung zakat perdagangan – zakat perdagangan adalah zakat yang dikeluarkan dari harta niaga, sedangkan harta niaga adalah harta atau aset yang diperjualbelikan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian maka dalam harta niaga harus ada 2 motivasi: Motivasi untuk berbisnis (diperjualbelikan) dan motivasi mendapatkan keuntungan.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103).
Harta perdagangan yang dikenakan zakat dihitung dari asset lancar usaha dikurangi hutang yang berjangka pendek (hutang yang jatuh tempo hanya satu tahun). Jika selisih dari asset lancar dan hutang tersebut sudah mencapai nisab, maka wajib dibayarkan zakatnya.
cara menghitung zakat perdagangan
Hukum Zakat Perdagangan
Para Ulama berselisih pendapat tentang hukum zakat barang
perdagangan dalam dua pendapat:
Pendapat Pertama : Wajib mengeluarkan zakat barang-barang
perdagangan. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama. Sebagian mereka mengatakan
bahwa hal ini adalah ijma’ (konsensus) para sahabat dan tabi’in.
Mereka melandasi pendapatnya dengan dalil-dalil dari
al-Qur’ân, as-Sunnah, atsar para sahabat, tabi’in serta qiyâs.
A. Dalil Dari Al-Qur’ân Yaitu Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh )
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untukmu.” [al-Baqarah/2:267]
Imam al-Bukhâri telah membuat bab khusus tentang hal ini
dalam kitab Zakat dalam Shahih-nya, yaitu: Bab Shadaqatu al-Kasbi wa
at-Tijarati (bab zakat usaha dan perdagangan).
Firman Allâh Azza wa Jalla , “Dari hasil usahamu,” maknanya
ialah perdagangan.[1]
B. Dalil Dari As-Sunnah yaitu hadits Samurah bin Jundab
Radhiyallahu anhu , ia berkata: “Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang kami
persiapkan untuk diperjual-belikan.”[2]
Dan hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu secara marfu’:
فِى الإِبِلِ صَدَقَتُهَا ، وَفِى الْغَنَمِ
صَدَقَتُهَا وَفِى الْبَزِّ صَدَقَتُهُ
Pada onta ada zakatnya, dan pada kambing ada zakatnya, dan
pada pakaian ada zakatnya. [3]
Kata al-Bazz (di dalam hadits di atas) artinya pakaian,
termasuk didalamnya kain, permadani, bejana dan selainnya. Benda-benda ini jika
dipergunakan untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada zakatnya tanpa ada
perbedaan pendapat diantara para Ulama. Dari sini menjadi jelaslah bagi kita,
bahwa yang dimaksud ialah jika benda-benda tersebut dijadikan obyek bisnis.
Hanya saja kedua hadits tersebut dha’if (lemah). Tetapi
masih bisa berdalil tentang wajibnya zakat barang perdagangan dengan
memasukkannya ke dalam keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu :
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ
عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ
Beritahukan kepada mereka, bahwa Allâh mewajibkan atas
mereka zakat yang diambil dari (harta-harta) orang-orang kaya diantara
mereka…”.[4]
Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu tentang penolakan Khâlid bin Walid Radhiyallahu anhu membayar zakat, dan
orang-orang (yakni para sahabat) mengadukannya kepada Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ
خَالِدًا ، قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Adapun Khâlid, sesungguhnya kalian telah menzhaliminya. Dia
menahan pakaian perangnya dan mempersiapkannya untuk perang fi sabilillah…”.[5]
Seolah-olah mereka menyangka bahwa barang-barang itu
dipersiapkan untuk perdagangan, sehingga mereka bersikukuh untuk mengambil
zakat dari hasil penjualannya. Lalu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberitahukan kepada mereka bahwa tidak ada zakat pada harta yang ditahannya
itu.[6]
C. Dalil Dari Atsar Para Sahabat
Diriwayatkan dari Ibnu Abidin al-Qari rahimahullah , ia
berkata, “Dahulu aku bekerja di Baitul Mal pada masa (pemerintahan) Umar bin
Khaththab Radhiyallahu anhu . Tatkala dia mengeluarkan pemberiannya, dia
mengumpulkan harta-harta para pedagang dan menghitungnya, baik yang hadir
maupun yang tidak hadir, kemudian mengambil zakat dari pemilik harta yang hadir
dan tidak hadir.”[7]
Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , ia
berkata, “Tidak ada zakat pada barang-barang kecuali jika dipersiapkan untuk
diperdagangkan.”[8]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu , ia berkata,
“Tidak mengapa menahan barang hingga dijual, dan zakat wajib padanya.”[9]
Tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi
perkataan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu , putranya dan Ibnu Abbas
Radhiyallahu anhum. Bahkan hal ini terus diamalkan dan difatwakan pada masa
tabi’in dan pada zaman Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Demikian pula para
Ulama fiqih di masa tabi’in dan orang-orang yang datang sesudah mereka telah
bersepakat tentang wajibnya zakat pada barang-barang perdagangan.
Pendapat Kedua: Tidak Wajib zakat pada barang-barang
perdagangan. Ini adalah madzhab Zhâhiriyah dan orang-orang yang mengikuti
mereka seperti imam Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, dan syaikh al-Albâni. Mereka
melandasi pendapatnya ini dengan dalil-dalil syar’i, diantaranya, dalil dari
hadits:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِى عَبْدِهِ
وَلاَ فَرَسِهِ صَدَقَةٌ
Tidak ada zakat atas seorang Muslim pada budak dan kuda
tunggangannya.[10]
Hadits yang dijadikan hujjah bagi pendapat kedua ini telah
dijawab oleh mayoritas Ulama (penganut pendapat pertama), bahwa yang ditiadakan
dalam hadits di atas yaitu kewajiban zakat dari budak yang biasa membantu dan
kuda yang biasa ditungganginya. Keduanya merupakan kebutuhan yang tidak terkena
beban zakat, menurut ijma’ para Ulama.
Ketentuan Wajib Zakat Perdagangan
Telah mencapai haul
Mencapai nishab 85 gr emas
Besar zakat 2,5 %
Dapat dibayar dengan barang atau uang
Berlaku untuk perdagangan secara individu atau badan usaha (
CV, PT, koperasi)
Kapan Dihitung Nishab Pada Harta Perdagangan
Berkenaan dengan waktu perhitungan nishab harta perdagangan ada tiga pendapat :
Pertama : Nishab dihitung pada akhir haul (ini pendapat imam
Mâlik dan imam asy-Syâfi’i).
Kedua : Nishab dihitung sepanjang haul (putaran satu tahun
hijriyyah), dengan pertimbangan sekiranya harta berkurang dari nishabnya sesaat
saja, maka terputus haul itu (ini madzhab mayoritas ulama).
Ketiga : Nishab dihitung pada awal haul dan di akhirnya,
bukan di tengahnya (madzhab Abu Hanîfah)
Baca juga: Cara Menghitung Zakat Mal
Cara Menghitung Zakat Perdagangan
Cara menghitung zakat perdagangan jika telah tiba waktu mengeluarkan zakat, maka wajib bagi pedagang untuk mengumpulkan dan mengkalkulasi hartanya. Harta yang wajib dikalkulasi ini meliputi :
Modal usaha, keuntungan, tabungan (harta dan barang
simpanan) dan harga barang-barang dagangannya.
Piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan
akan dilunasi.
Ia menghitung harga barang-barang dagangannya lalu ditambahkan dengan uang yang ada di tangannya dan piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan akan dilunasi, lalu dikurangi dengan utang-utangnya. Kemudian dari nominal itu, ia mengeluarkan sebanyak dua setengah persen (2,5 %) berdasarkan harga penjualan ketika zakatnya hendak ditunaikan, bukan berdasarkan harga belinya.
2,5% x (aset lancar – hutang jangka pendek)
Contoh kasus:
Bapak A memiliki aset usaha senilai Rp200.000.000,- dengan
hutang jangka pendek senilai Rp50.000.000,-. Jika harga emas saat ini
Rp622.000,-/gram, maka nishab zakat senilai Rp52.870.000,-. Sehingga Bapak A
sudah wajib zakat atas dagangnya. Zakat perdagangan yang perlu Bapak A tunaikan
sebesar 2,5% x (Rp200.000.000,- – Rp50.000.000,-) = Rp3.750.000,-.
Cara bayar zakat perdangan makin mudah via online, klik aja :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar